MAKALAH
PENETRASI PRAKTIK ‘SHADOW BANKING’ DI INDONESIA
DOSEN PENGUJI/PENGASUH :
TOTOK HARMOYO, SE,M.Si
DISUSUN OLEH :
ADLINA (1401270155)
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
FAKULTAS AGAMA ISLAM
PERBANKAN SYARIAH
2017
DAFTAR ISI
DAFTAR
ISI.........................................................................................................................
i
BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
..............................................................................................
1
1.2 Perumusan
Masalah ....................................................................................... 3
1.3 Tujuan
Pelaksanaan
....................................................................................... 4
1.4 Manfaat
Penelitian
......................................................................................... 4
BAB
II : PEMBAHASAN
2.1 Defenisi Shadow Banking ............................................................................... 5
2.2 Karakteristik Shadow Banking..........................................................................
2.3 Lembaga-Lembaga Shadow Banking ............................................................... 9
2.4 Permasalahan Dasar Hukum..............................................................................
12
BAB
III : PEMBAHASAN
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Daftar Pustaka
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. LATAR
BELAKANG
Dewasa ini, praktek perbankan di Indonesia dibayang-bayangi
oleh kemunculan praktek shadow banking (perbankan bayangan).
Penetrasi shadow banking di Indonesia telah dirasakan cukup
kuat sehingga beberapa pihak mulai mendesak pemerintah agar segera menetapkan
regulasi dan supervisi secara ketat terhadap praktek shadow
banking di Indonesia (Tempo, 2012). Pemerintah Indonesia menganggap
krisis dunia yang diakibatkan oleh kelemahan dan potensi kejahatan yang timbul
dari praktek shadow banking ini sebagai pelajaran yang
berharga untuk dapat segera diantisipasi dengan menerapkan aturan yang ketat
untuk mengurangi risiko krisis.
Di Amerika Serikat, para ekonominya mengartikan shadow
banking sebagai perantara keuangan, trade loans,
reksadana, dan pembiayaan eksternal bebas risiko (Gennaioli, Andrei, dan Vishny,
2011). Dalam sebuah lembaga shadow banking, kelompok keuangan
jangka panjang dibiayai dengan dana dari pasar uang melalui berbagai channel,
9 macam pinjaman bagi konsumen dan pinjaman bisnis, banyak yang berasal dari
perusahaan pembiayaan yang belum diatur, surat berharga beragun asset (asset-backed
commercial paper / ABCP) dengan jangka waktu yang relatif pendek dari
30 sampai 90 hari (Ricks, 2010). Shadow banking juga
menggambarkan sebuah jaringan dari instrumen keuangan seperti efek beragun
asset, kredit derivatif, reksadana pasar uang, repurchase
aggrement dan lain-lain (Gerding, 2011). Dalam pengertiannya yang
lebih sederhana, shadow banking adalah saingan bank dalam
intermediasi kredit kepada rumah tangga dan bisnis (Zoltan Pozsar ,dkk, 2012),
serta sekelompok jaringan lembaga keuangan khusus yang menyalurkan dana dari
pihak ketiga kepada investor melalui berbagai teknik pendanaan sekuritisasi
yang mana teknik sekuritisasi ini secara luas diakui sebagai inovasi keuangan
yang menciptakan risiko kredit yang umumnya terkait dengan stabilitas sistem
keuangan dan ekonomi riil.
Sedangkan di Indonesia sendiri, istilah shadow
banking lebih mewakili praktek-praktek pembiayaan atau multifinance,
lembaga keuangan mikro, reksadana, hedge fund, dan lain sebagainya.
Pada intinya, shadow banking adalah lembaga nonbank yang beroperasi
layaknya perbankan, yakni menghimpun dana, memberi kredit dengan bunga yang
tinggi namun dengan syarat yang lebih mudah untuk dipenuhi dibandingkan dengan
syarat yang diwajibkan oleh perbankan.
Pemerintah, dalam hal ini kementrian keuangan menganggap
penetrasi shadow banking dapat mengganggu stabilitas
perekonomian Indonesia. Salah satu alasannya dikarenakan shadow
banking memberikan kredit dengan bunga tinggi namun persyaratan yang
diajukan cenderung lebih mudah, hal ini tentu saja menyebabkan potensi Non
Performing Loan (NPL) – kredit macetnya tinggi.
Gambaran dari krisis besar sebagai akibat dari adanya
praktek shadow banking ini adalah subprime mortgage
crisis di Amerika Serikat sejak pertengahan 2006 lalu. Adapun
Indonesia terkena dampak krisis tersebut yang dapat dirasakan ketika nilai
tukar rupiah menanjak hingga level Rp9.400 per Dollar Amerika, harga
saham-saham anjlok. Subprime mortgage crisis sendiri adalah
pemberian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) kepada konsumen yang memiliki kelayakan
kredit kurang dari cukup, konsumen awalnya ditawari teaster rate bernilai
rendah yang fixed selama 2 tahun, setelah itu pada akhir tahun
kedua bunganya menjadi adjustable rate dan meningkat tajam
sehingga konsumen yang kelayakan kreditnya kuang menjadi kesulitan membayar.
Setelah kredit secara besar-besaran dikucurkan namun belakangan karena adjustable
rate yang ditetapkan sangat tinggi menyebabkan
meningkatnya non-performing loan atau gagal bayar.
Dalam makalah ini, penulis memfokuskan pada arbitrase peluang yang
dilakukan oleh lembaga-lembaga shadow banks dalam melakukan
penetrasi dan intermediasi yang dilakukan oleh lembaga shadow banks.
Pada bagian kedua, pembaca dapat memahami definisi dari shadow
banking menurut pendapat dari peneliti terdahulu, karakterisitik shadow
banking, contoh dari beberapa lembaga yang dapat disebut sebagai
lembaga shadow banks dan permasalahan dasar hukum yang melekat
pada lembaga shadow banks. Pada bagian ketiga kesimpulan dan saran
.
1.2 Perumusan
Masalah
Berdasarkan uraian latar
belakang di atas, dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Konsep Penetrasi
Praktik “ Shadow Banking” yang berkembang di Indonesia ?
2. Apa-apa saja Peluang dan Ancaman
Penestrasi Praktik “Shadow Banking” bagi lembaga-lembaga keuangan di
Indonesia ?
1.3 Tujuan
Penelitian
Adapun tujuan penelitian
ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui konsep
Penetrasi Praktik “Shadow Banking” yang berkembang di Indonesia
2. Untuk
mengetahui apa-apa saja Peluang dan Ancaman Penestrasi
Praktik “ Shadow Banking “ bagi lembaga-lembaga keuangan di
Indonesia.
1.4 Manfaat
Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan sumbangan
pemikiran sebagai berikut:
a. Secara
teoritis
Hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dan dapat dijadikan sebagai
bahan rujukan bagi Mahasiswa, Lembaga dan Masyarakat Umum dalam mempelajari “Shadow
Banking”
b. Secara Praktis.
Hasil yang diperoleh
diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan khusunya
penulis dan umumnya bagi lembaga-lembaga keuangan dan pemerintah .
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Shadow
Banking
Shadow banking merupakan hal yang sangat
luas, berikut ini merupakan pendapat peneliti tentang mengenai shadow
banking :
Shadoow banking adalah intermediasi
keuangan yang melakukan transformasi jatuh tempo, kredit, dan likuiditas tanpa
harus mendapatkan akseslikuiditas dari Bank Sentral maupun jaminan kredit dari
sektor publik (Pozsar,2012). Shadow banking system adalah sistem
intermediasi kredit yang meliputi entitasdan aktivitas, baik seluruhnya maupun
sebagian, di luar sistem perbankan regular( Financial Stability Board 2013). Definisi ini juga yang
digunakan dalam KajianStabilitas Keuangan nomor 20, Maret 2013, yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia.
Shadow banking dapat
dilakukan oleh satu entitas yang berperan sebagai lembagaintermediasi antara
penyedia dana dan peminjam dana, atau beberapa entitas danaktivitas yang
membentuk rantai intermediasi kredit.Kurangnya pengaturan dan pengawasan dari
otoritas keuangan terhadap shadowbanking menimbulkan potensi
instabilitas pada sektor keuangan, sebagaimanatelah terjadi di Amerika, dengan
terjadinya krisis keuangan global pada tahun2008 yang diawali dengan runtuhnya
sektor keuangan dan jatuhnya nilai asetsektor perumahan yang merambat pada
terjadinya gagal bayar pada subprimemortgage(Adriyanto, 2012)
“Rivals the traditional banking system in
the intermediation of credit to households and businesses” (Zoltan Pozsar
dkk, 2010 ). Definisi tersebut menjelaskan secara sederhana bahwa praktek shadow
banking juga beroperasi layaknya perbankan dengan memberikan kredit
kepada rumah tangga dan bisnis, namun pada kasusnya, shadow
banking ini belum diregulasi secara ketat. Di Indonesia sendiri, shadow
banking juga masih belum memiliki regulasi yang dapat diandalkan
layaknya perbankan. Saat ini pengawasan shadow banking masih
diawasi oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK),
namun dengan adanya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diharapkan nantinya
lembaga-lembaga yang tergolong dalam shadow banking bisa
disupervisi secata ketat.
Shadow banking sendiri merupakan
istilah yang mengacu pada lembaga intermediasi keuangan yang memfasilitasi
penyaluran kredit. Bisa juga diartikan sebagai aktivitas lembaga keuangan yang
belum punya payung regulasi. Sebab, menurut Mulya, di Indonesia, pelaku
bisnis yang cenderung masuk sebagai shadow banking adalah
Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), koperasi, dan lembaga keuangan mikro (LKM) lainnya.
Selain pendapat tersebut diatas, ada pula beberapa pendapat lain
terkait shadow banking yakni “financial intermediaries that
conduct maturity, credit, and liquidity transformation without access to
central bank liquidity or public sector credit guarantees”( Pozsar et al ,
2010). Menurut Pozsar, perantara keuangan yang dimaksud diatas mencakup
perusahaan pembiayaan, surat berharga beragun aset (Asset-Based Commercial
Paper), perusahaan pembiayaan dengan tujuan terbatas, investasi kendaraan
terstruktur (biasa dikenal dengan structured investment vehicles-
SIVs), dana kredit lindung nilai, reksadana pasar uang, kreditur sekuritas dan
perusahaan yang disponsori pemerintah (umum dikenal sebagai GSEs). Namun yang
perlu digaris bawahi adalah bahwa lembaga-lembaga ini tidak dijamin apabila
timbul risiko dikemudian hari,
Sebagian peneliti lainnya, lebih senang menghubungkan shadow
banking dengan instrument keuangan, diantaranya adalah “On a high
level the shadow banking system and its component financial instruments provide
many of the functions of traditional depository banking, yet operate by
connecting borrowers to investors in capital markets”(Gerding, 2011).
Menurut Gerding, shadow banking mencakup wilayah operasi yang
lebih luas dari sekedar memberi kredit dan menerima simpanan layaknya bank-bank
tradisional (bank-bank pada umumnya), Gerding juga mendefinisikan sedikitnya
enam hal terkait instrument yang dimiliki sistem perbankan bayangan, yakni :
1. Intermediasi : “Unlike
with bonds, these instruments interpose an intermediary between borrowers and
investors” disini, lembaga-lembaga shadow banking hanya
berlaku selayaknya agen.
2. Pooling : Pada
gilirannya, intermediasi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga shadow
banking memungkinkan perpindahan aliran kas dan risiko keuangan.
3. Structuring :
yakni penataan, dana yang masuk ke lembaga-lembaga shadow banking,
ditata ulang dan dibentuk menjadi instrument baru dan dijual atau ditawarkan kembali
kepada investor.
4. Maturity
transformation : intermediasi dan penataan (structuring) memungkinkan
lembaga-lembaga shadow banking melakukan konversi instrumen
berjangka panjang menjadi instrumen jangka pendek.
5. “Money”creation :
intermediasi, jaringan, penataan, dan transformasi yang dilakukan
lembaga-lembaga shadow banking memungkinkan mereka untuk
menawarkan instrumen yang berlikuiditas tinggi dan berisiko rendah. Pada
kelompok ini, lembaga-lembaga shadow banking juga melayani
pertukaran uang, dan pembukaan rekening.
6. Opacity : Dengan
semakin banyaknya praktek shadow banking ini, hal ini
menaikkan tingkat keburaman (opacity, tidak jelas) sehingga menyulitkan
investor untuk menilai risiko keuangan, termasuk risiko kredit, dan asset yang
mendasari instrumen yang telah dibeli.
Meskipun beberapa
peneliti terdahulu telah mencoba memberikan gambaran mengenai praktek shadow
banking, namun definisi dari shadow banking sendiri sampai
saat ini belum ditetapkan secara baku dan jelas.
B. Karakteristik Shadow
Banking
Menurut Schwarcz,
karena shadow banking itu sendiri belum didefinisikan secara
konkret, maka karakteristiknya pun bersifat tentatif (belum pasti dan dapat
berubah). Masih menurut Schwarcz, terdapat beberapa pengamatan dasar
mengenai shadow banking yang dapat dibuat yakni sebagai
berikut :
Pertama, karena shadow banking bukanlah perbankan
tradisional, dan karena perbankan tradisional (perbankan pada umumnya)
cenderung diatur dengan ketat, sedangkan shadow banking cenderung
kurang diatur daripada perbankan pada umumnya. Dalam pembahasan-pembahasan
mengenai shadow banking baik melalui penelitian maupun
pemberitaan media, karakteristik pertama ini merupakan karakteristik yang
paling sering dipakai.
Kedua, fakta bahwa shadow banking cenderung
kurang diatur daripada perbankan pada umumnya, maka sampai batas tertentu,
pergerakan perbankan bayangan (shadow banking) didorong oleh arbitrase
peraturan. Oleh karena itu, memperketat aturan perbankan hampir pasti akan
meningkatkan peluang penetrasi perbankan bayangan (shadow banking).
Perbankan bayangan yang didorong secara kuat oleh faktor arbitrase regulasi
perbankan tidak dapat mewakili kepentingan publik. Sebagai contoh, arbitrase
peraturan mungkin menggunakan struktur kesepakatan dengan biaya transaksi yang
lebih tinggi untuk menghindari peraturan.
Ketiga, untuk perbankan bayangan sejauh tidak didorong oleh
arbitrase peraturan, mungkin juga merupakan barang publik yang dapat membantu
mencapai efisiensi. Hal ini dapat diterima karena terdapat kebutuhan untuk
intermediasi antara sumber dana dan pengguna dana. Perusahaan yang beroperasi
seperti itu dapat meningkatkan nilai ekonomi namun juga dapat meningkatkan
risiko keuangan.
Yang terakhir, apabila shadow banking dibiarkan
tanpa regulasi, hal tersebut dapat menimbulkan risiko yang berdampak pada
sistem keuangan. Sebagaimana contoh diatas yakni transformasi kredit dalam
sistem lembaga-lembaga shadow banking telah menimbulkan subprime
mortgage crisis. Selain itu, lembaga-lembaga shadow banking yang
menyediakan pendanaan jangka pendek melalui kebutuhan modal jangka panjang bisa
menciptakan risiko likuiditas berkelanjutan. Meskipun instrumen jangka pendek
sendiri merupakan karakeristik shadow banking.
C. Lembaga-lembaga shadow
banking
Setelah mengenal definisi istilah dan gambaran dari praktek shadow
banking, berikut ini merupakan contoh lembaga-lembaga yang dapat
dikelompokkan dalam katerogi shadow banking, diantaranya adalah :
1. Lembaga
Pembiayaan (Multifinance)
Menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 61 Tahun 1988
Tentang Lembaga Pembiayaan, yang dimaksud perusahaan pembiayaan adalah badan
usaha diluar Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank yang khusus didirikan untuk
melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan. Adapun
kegiatan usaha yang tergolong dalam perusahaan pembiayaan diantaranya adalah:
a. Sewa
Guna Usaha (Leasing)
Kegiatan pembiayaan dalam bentuk
penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance
Lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (Operating Lease) untuk
digunakan oleh Penyewa Guna Usaha (Lessee) selama jangka waktu tertentu
berdasarkan pembayaran secara angsuran.
b. Anjak Piutang (Factoring)
Kegiatan pembiayaan
dalam bentuk pembelian piutang dagang jangka pendek suatu perusahaan berikut
pengurusan atas piutang tersebut.
c. Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance)
Kegiatan pembiayaan
untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara
angsuran. Yang meliputi pembiayaan kendaraan bermotor, pembiayaan alat-alat
rumah tangga, pembiayaan barang-barang elektronik, pembiayaan rumah, dll.
d. Usaha Kartu Kredit (Credit Card)
Kegiatan pembiayaan
untuk pembelian barang dan/atau jasa dengan menggunakan kartu kredit.
e. Perusahaan Modal Ventura (Venture
Capital Company)
Badan usaha yang
melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal ke dalam suatu
perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan untuk jangka waktu tertentu.
f. Perusahaan Perdagangan Surat Berharga (Securities
Company)
Badan usaha yang
melakukan pembiayaan dalam bentuk perdagangan surat berharga.
2. Microfinance
Mikro dalam istilh microfinance lebih menjelaskan
mengenai ‘inferiority’ atau keterbatasan, yaitu inferioritas dari masyarakat
miskin (the poors) yang sulit atau terbatas aksesnya kepada pelayanan
jasa keuangan/perbankan. Beberapa definisi mengenai microfinance antara
lain sebagai berikut:
Menurut International Managaement Communication
Corporation (IMCC) seperti dikutip dari makalah manajemen keuangan
oleh Mohamad Taufik, microfinance merupakan seperangkat teknik
dan metode perbankan non-tradisional untuk membuka akses seluas-luasnya kepada
sektor yang tidak tersentuh jasa keuangan formal. Sedangkan menurut The
Foundation for Development Cooperation, microfinance adalah
penyedia jasa keuangan khususnya simpanan dan pinjaman bagi rumah tangga miskin
yang tidak memiliki akses ke lembaga formal. Sedangkan lembaga keuangan mikro
menurut Rancangan Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro (RUU LKM) adalah Lembaga
keuangan yang menyediakan jasa keuangan mikro (kegiatan sektor keuangan berupa
penghimpun dana dan pemberian pinjaman atau pembiayaan dalam skala mikro dengan
suatu prosedur yang sederhana kepada masyarakat miskin dan atau berpenghasilan
rendah) bukan bank yang tidak semata-mata mencari keuntungan. Produk dari
lembaga keuangan mikro sendiri antara lain: menerima simpanan, pinjaman,
pembiayaan, pendampingan, dll. Adapun beberapa model organisasi dari
microfinance institution antara lain :
a. Thrift
and Credit Co-operatives (TCCs) and Credit Unions (CUs) yaitu suatu
organisasi dengan keanggotaan yang terdaftar secara formal diatur oleh
peraturan pemerintah. Organisasi yang dibentuk oleh sekelompok orang yang
memiliki ikatan yang sama tersebut sepakat untuk menyimpan uang secara bersama
dan meminjamkannya pada tingkat bunga rendah, atau menggunakannya untuk tujuan
yang dimiliki bersama.
b. Intermediary
Programmes yaitu LSM memfasilitasi hubunga antara kelompok akar rumput
dengan sistem keuangan formal.
3. Reksadana
Reksadana merupakan wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari
masyarakat pemodal, untuk selanjutnya diinvestasikan oleh manager investasi
dalam portofolio efek. Keuntungan yang diperoleh berupa kenaikan nilai
investasi masyarakat pemodal seiring dngan berjalannya waktu dan periode
investasi. Adapun jenis-jenis reksadana ditinjau dari bentuk hukumnya ada dua
jenis, yaitu : mutual fund company yakni dengan membentuk
sebuah perusahaan terlebih dahulu dan contractual mutual fund,
tanpa mendirikan perusahaan akan tetapi ada kontrak antara manager investasi
dan bank kustodian. Sedangkan menurut jenis yang ditawarkan, terdapat dua jenis
yakni : open ended (reksadana terbuka) dan closed
ended (hanya diperdagangkan di bursa efek).
4. Permasalahan
Dasar Hukum
Dalam suatu negara, upaya menjaga stabilitas keuangan merupakan
hal yang sangat penting. Terdapat empat faktor terkait yang mendukung
terciptanya stabilitas sistem keuangan, yakni : lingkungan ekonomi makro yang
stabil, lembaga keuangan yang dikelola dengan baik, pengawasan institusi
keuangan yang efektif dan sistem pembayaran yang aman dan handal. Adanya
tekanan pada salah satu faktor dapat berdampak pada faktor lainnya (Booklet
Stabilitas Sistem Keuangan, 2007). Jika ditarik benang merah, adanya
praktek shadow banking atau lembaga keuangan bukan bank yang
belum diregulasi dan disupervisi secara ketat dapat menimbulkan terganggunya
sistem stabilitas keuangan. Adanya permasalahan hukum yang mana belum
diregulasinya lembaga keuangan bukan bank serta belum adanya suprvisi yang kuat
merupakan suatu indikasi bahwa praktek shadow banking ini
dapat menimbulkan gangguan atau dampak negatif bagi stabilitas keuangan di
negara kita. Terdapat dua faktor yang dipengaruhi oleh praktek ini, yakni :
lembaga keuangan yang dikelola dengan baik dan pengawasan institusi keuangan
yang efektif.
Dari beberapa lembaga keuangan tersebut di atas bahkan belum
memiliki dasar hukum dan sebagian lagi dasar hukumnya masih merupakan sub dari
undang-undang lain. Hal ini tentu saja dapat menimbulkan celah bagi lembaga
keuangan bukan bank (shadow banking) untuk melakukan arbitrase
peraturan. Di sisi lain, lembaga perbankan diatur sedemikian rupa sehingga
memiliki regulasi yang kuat dan ketat, maka semakin memberikan celah bagi
lembaga keuangan bukan bank untuk semakin menguatkan penetrasi mereka
dikarenakan lemahnya regulasi dibandingkan dengan regulasi perbankan.
Makalah ini berfokus pada dampak penetrasi tiga praktek shadow
banking yang marak di Indonesia sebagaimana yang telah disebutkan
diatas, yakni : lembaga pembiayaan (multifinance), lembaga keuangan
mikro (microfinance) dan reksadana. Lembaga pembiayaan di Indonesia,
diatur dalam Peraturan Presiden RI No. 9 tahun 2009 tentang lembaga pembiayaan
, untuk lembaga keuangan mikro dasar hukumnya masih berupa rancangan
undang-undang yang mana pembahasannya masih diundur oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dikarenakan terdapat perbedaan isi dan jiwa dari UU LKM yang
diinginkan oleh DPR dan Menkeu, dan untuk reksa dana diatur dalam bab IV
(empat) UU No. 8 tahun 1995 tentang pasar modal
5.
Perbandingan UU terkait Perbankan dengan Lembaga keuangan bukan bank
Perbankan memiliki banyak regulasi yang mengikat kegiatan
operasional mereka. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Jawa Timur,
membuktikan bahwa terdapat beberapa peraturan untuk perbankan dalam hal
pembiayaan yang mempersulit persyaratan bagi kalangan bawah untuk mengajukan
kredit di Bank. Dengan adanya permasalahan tersebut, timbullah celah bagi
lembaga keuangan bukan bank atau lembaga pembiayaan untuk melakukan penetrasi
dengan menawarkan kemudahan bagi masyarakat yang berniat mengajukan kredit.
Peraturan-peraturan yang dipandang dapat menimbulkan celah bagi lembaga-lembaga
yang masuk kategori shadow banks diantaranya dapat dilihat di
tabel di bawah ini :
Tabel 1
Peraturan Perbankan yang Menimbulkan Celah bagi Penetrasi Shadow
Banks
No.
|
Peraturan
|
Pasal
|
Indikasi Peluang
|
1.
|
Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.
3/2/PBI/2001 Tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil Jo. SE BI No. 3/9/BKr
tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Kredit Usaha Kecil
|
Pasal 1 ayat (2) : Kredit Usaha
Kecil adalah kredit atau pembiayaan dari Bank untuk investasi dan atau modal
kerja, yang diberikan dalam Rupiah dan atau Valuta Asing kepada nasabah usaha
kecil dengan plafon kredit keseluruhan maksimum Rp500.000.000,00 untuk
membiayai usaha yang produktif, selanjutnya disebut KUK.
|
Peraturan perbankan menyebutkan
bahwa yang dapat memperoleh pendanaan dari Bank adalah nasabah bank.
Sedangkan dalam lembaga shadow bank, siapa saja dapat mengajukan
kredit meskipun bukan nasabah /anggota lembaga tersebut.
|
Sumber : Hasil Olahan
Tabel 2
Lanjutan Peraturan
Perbankan yang Menimbulkan Celah bagi Penetrasi Shadow Banks
No.
|
Peraturan
|
Pasal
|
Indikasi Peluang
|
2.
|
PBI No. 7/2/PBI/2005 jo PBI No.
8/2/PBI/2006
|
Ketentuan mengenai konsep one
obligor untuk penetapan kualitas aktiva produktif menjadi
konsep/pendekatan uniform classification
|
Ketentuan one
obligor untuk penetapan kualitas aktiva produktif, kewajiban
penyampaian laporan keuangan yang telah diaudit oleh KAP dan ketentuan
mengenai tata cara penempatan dana oleh bank umum.
Apabila pemohon kredit telah
menerima pembiayaan dari lembaga keuangan lain, maka hal itu dapat menghambat
pemberian dana oleh perbankan sehingga memberikan celah bagi lembaga shadow
banks.
|
Sumber : Hasil Olahan
Tabel 3
Lanjutan Peraturan
Perbankan yang Menimbulkan Celah bagi Penetrasi Shadow Banks
No.
|
Peraturan
|
Pasal
|
Indikasi Peluang
|
|
3.
|
Surat Edaran Ekstern No 14/10/DPNP
Tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian KPR dan
KKB
|
Butir III huruf D
“Rasio LTV untuk Bank yang
memberikan KPR sebagaimana diatur dalam SE ini ditetapkan paling tinggi
sebesar 70% (tujuh puluh persen)”
|
Peningkatan besaran maksimum LTV (Loan
To Value) untuk KPR (Kredit Pemilikan Rumah) dan KKB (Kredit Kendaraan
Bermotor) bagi perbankan dan lembaga pembiayaan yang memperoleh sumber dana
dari perbankan menimbulkan celah intermediasi pada lembaga-lembaga shadow
banks yang menawarkan pinjaman untuk tujuan pembayaran Down
Payment KPR.
|
|
Sumber: Hasil Olahan
Tabel 4
Lanjutan Peraturan Perbankan yang Menimbulkan Celah bagi Penetrasi Shadow Banks
No.
|
Peraturan
|
Pasal
|
Indikasi Peluang
|
4.
|
UU No. 10 Tahun 1998 Tentang
Perbankan (Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992)
|
Pasal 8 ayat (1)
“Dalam memberikan kredit atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai kenyakinan
berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta
kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan
pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”
|
Pasal ini dipertegas dengan
penjelasannya, bahwa keyakinan diperoleh dari analisis yang mendalam dimana
collateral merupakan salah satu faktor yang dipertimbangkan. Hal ini
memberikan celah dimana, lembaga shadow banks tidak terlalu
memperhatikan tingkat kemampuan nasabahnya dalam melunasi hutangnya.
Terkadang hal-hal semacam ini hanya merupakan formalitas saja dan/ atau
untuk memenuhi target.
|
Sumber : Hasil Olahan
Sebagaimana dapat dilihat pada tabel diatas, terdapat beberapa
peraturan yang diindikasikan memberikan celah intermediasi bagi
lembaga-lembaga shadow banking. Pertama terkait perturan pemberian
kredit yang menyebutkan kata nasabah, hal ini tentu saja menimbulkan celah
dikarenakan kreditur umumnya lebih menyukai proses pengajuan kredit yang cepat
cair dan tanpa proses yang berbelit-belit. Apabila meminjam melalui Bank,
kreditur harus terlebih dahulu menjadi nasabah, belum lagi serangkaian survey
dan jangka waktu persetujuan kredit yang umumnya memakan waktu yang lebih lama
dibanding meminjam kepada pihak lain yang bukan bank. Kedua, syarat harus
adanya laporan auditan untuk pengusaha/wirausaha yang ingin mengajukan kredit
bantuan modal menyulitkan UKM (Usaha Kecil Mengenah) yang ingin mengajukan
kredit kepada perbankan menyebabkan semakin sulitnya langkah yang harus
ditempuh untuk mendapatkan pembiayaan dari perbankan. Sehingga banyak kreditur
yang cenderung memilih mengajukan pinjaman kepada lembaga-lembaga shadow
banks karena persyaratan yang harus dipenuhi lebih mudah meskipun
dengan bunga yang cenderung lebih tinggi dibandingkan perbankan
Sebagai akibat dari adanya peluang penetrasi lembaga-lembaga shadow
banks di Indonesia, apabila tidak segera diregulasi dan disupervisi
secara ketat maka bukan tidak mungkin hal tersebut akan berdampak terhadap
stabilitas keuangan di Indonesia. Sebagai contoh, adanya kasus – kasus pada
produk reksadana, misalnya terdapat kasus gagal bayar pada reksadana yang
beraset dasar obligasi, yakni ketika obligasi tersebut gagal bayar (tahun
2007). Selain masalah gagal bayar, kasus yang pernah terjadi di Indonesia
karena aktivitas shadow banks yang tanpa regulasi dan supervisi
yang ketat ini pernah terjadi di Indonesia yakni kasus yang dikenal dengan
kasus Bank Century, yang mana bank tersebut kolaps karena lemahnya pengawasan
Bapepam-LK terhadap manajer investasi yang menjual produk palsu (fiktif) yang
dijual melalui Bank Century pada tahun 2005 dan mencuat ke publik pada November
2008. Benang merah dari kasus ini adalah perbankan yang melakukan kegiatan di
luar kegiatan utama perbankan.
Di sini ketika terjadi penggelapan dana nasabah, tidak terdapat
pula kejelasan pihak manajer investasi yang harus membayar dan atau bank yang
bersangkutan yang harus membayar ganti rugi dana nasabah yang hilang, yang
terjadi justru saling tuding dan saling lempar tanggung jawab. Bahkan otoritas
pemerintah yang bertugas untuk supervisi hal-hal seperti ini di Indonesia masih
belum jelas dan saling lempar kesalahan. Adanya hal-hal seperti ini jelas dapat
mengganggu stabilitas keuangan negara, sebab investor merasa sangat dirugikan,
dan orang awam yang kurang memiliki pengetahun mengenai investasi akan berpikir
bahwa produk tersebut adalah milik bank, sehingga ketika nama sebuah bank
terlibat dalam suatu kasus penggelapan dana nasabah, nasabah yang lain pun akan
tergerak untuk segera menarik dananya dari bank tersebut sehingga bank
mengalami risiko likuiditas dan terancam gagal bayar. Selain bank,
lembaga-lembaga pembiayaan yang memberikan kredit tanpa memperhitungkan
kualitas nasabah penerima dana pembiayaan juga menanggung risiko NPL (Non
Performing Loan) yang tinggi. Sebagaimana telah diungkapkan di atas, bahwa
tekanan terhadap salah satu faktor stabilitas keuangan akan mempengaruhi faktor
lainnya. Untuk itulah, dengan adanya pengetatan peraturan perbankan, harus
segera diikuti pula dengan pembuatan peraturan bagi lembaga shadow
banks, sehingga tidak terjadi ketimpangan risiko bagi perekonomian di
negara kita.
BAB III
3.1 KESIMPULAN
Dengan semakin
diperketatnya aturan pada industri perbankan, hal tersebut terbukti semakin
meningkatkan pula penetrasi lembaga-lembaga shadow banks.
Lembaga-lembaga shadow banks beroperasi dengan memanfaatkan
celah belum diregulasinya peraturan-peraturan bagi lembaga-lembaga yang
tergolong sebagai kelompok shadow banking dan dengan semakin
sulitnya persyaratan yang diajukan perbankan bagi nasabah yang ingin mengajukan
permohonan kredit, masyarakat akan lebih tertarik untuk menggunakan pembiayaan
dari lembaga-lembaga shadow banks karena lebih menawarkan
kemudahan dalam proses pencairan kreditnya meskipun dengan bunga yang cenderung
lebih tinggi. Dengan adanya peluang penetrasi bagi lembaga-lembaga shadow
banks tanpa diikuti dengan regulasi dan supervisi yang ketat, hal
tersebut dapat memicu tekanan terhadap stabilitas perkonomian negara.
3.2 Saran
Adapun saran yang dapat
diberikan penulis terkait praktik shadow banking adalah
pemerintah harus segera membuat regulasi terkait praktek atau kegiatan
operasional lembaga shadow banking, tidak hanya menyangkut
kelembagaannya saja. Demikian pula dengan paper ini, tidak lepas dari
kekurangan-kekurangan diantaranya : analisis dari sisi data-data statistik
keuangan antara bank dan lembaga shadow banking, penelusuran
undang-undang dan peraturan-peraturan perbankan yang lebih menyeluruh dan lebih
banyak dari segi jumlah
Daftar Pustaka
Agus, 2007. Suara
Karya : BEJ Belum Audit Investigasi Panin. Jakarta : Suara Karya.
Biro Stabilitas Sistem
Keuangan. 2007. Booklet Stabilitas Sistem Keuangan. Jakarta:Bank
Indonesia.
Efendi, Ruslan. 2007.
Analisis Manajemen Risiko Kredit Sepeda Motor Honda Pada Perusahaan
Multifinance di Indonesia (Studi Kasus Pada PT. PQR Finance). Bogor :
IPB. Karya ilmiah yang tidak dipublikasikan.
Gerding, Erick F. 2011.
The Shadow Banking System and Its Legal Origins.
Hamidi, Siti,
Sahabuddin., dan Kusumaningrum Adi. No Date. Evaluasi Peraturan
Perbankan Yang Menghambat Pembiayaan Usaha Kecil Di Jawa Timur.
Indriantoro dan Supomo,
Bambang. 2000. Metodologi Penelitian Bisnis Untuk Akuntansi dan
Manajemen Edisi Pertama. Yogyakarta : BPFE.
Jason ,Hsu dan Max
,Moroz. 2009. Shadow Banks and the Financial Crisis of 2007 - 2008. Working
Paper.
Kane, Edward J. 2012. The
Inevitability Of Shadowy Banking. Boston College.
Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1988 Tentang Lembaga Pembiayaan
Moe, Thorvald Grung.
2012. Shadow Banking and the limits of Central Bank Liquidity Support : How to
Achieve a better Balance between Global and Officially Liquidity. Working
Paper No. 712.
Nainggolan, Ricard.
2009. Beri Peringatan Dini bagi Investor. Jakarta : Kompas.
Nersisyan, Yeva, dan
Wray, Randall. 2010. The Global Financial Crisis and the Shift to Shadow
Banking. Working Paper.
Nicola Gennaioli, Andrei
Shleifer, dan Robert W. Vishny. 2011. A Model Of Shadow Banking. Working
Paper.
Peraturan Bank Indonesia
(PBI) No. 3/2/PBI/2001 Tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil Jo. SE BI No.
3/9/BKr tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Kredit Usaha Kecil
Peraturan Bank Indonesia
No. 8/2/PBI/2006 Tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No. 7/
2/PBI/2005 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum.
Peraturan Presiden
Republik Indonesia No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
Prihandoko. 2012.
Anggota Dewan Dukung Pengetatan ‘Shadow Banking’. Jakarta : Majalah
Tempo.
Ricks, Morgan. 2010.
Shadow Banking and Financial Regulation.
Schwarcz, Steven L.
2012. Regulating Shadow Banking. Inaugural Address Boston University
Review of Banking and Financial Law.
Sugiyono. 2012. Metode
Penelitian Bisnis. Bandung : Alfabeta.
Surat Edaran Ekstern No
14/10/DPNP Tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan
Pemberian KPR dan KKB.
Taufik, Mohamad. 2011.
Perkembangan Kredit Mikro Di Dunia : Tantangan, Peluang Dan Strategi Ke Depan.
Bogor : IPB.Karya ilmiah tidak dipublikasikan.
Tobias Adrian dan Adam
B. Ashcraft. 2012. Shadow Banking Regulation. Federal Reserve Bank
of New York Staff Report No. 559.
Tobias Adrian dan Hyun
Song Shin. 2009. The Shadow Banking System : Implication for Financial
Regulation. Federal Reserve Bank of New York Staff Report No.
382.